KEUNIKAN
DAN POTENSI
DESA
TENGANAN
Desa
tenganan terletak Sebelah utara
pantai candidasa Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali dengan luas wilayah 1.176,225 ha Kawasan
tenganan memiliki suhu udara iklim
pegunungan yang sangat sejuk. Desa
tenganan mempunyai batas – batas wilayah
sebelah utara berbatasan dengan Desa Bebandem dan Macang, sebelah timur
berbatasan dengan Asak, Timbrah, Bugbug, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Pesedahan, Bugbug, Sengkidu dan sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Ngis. Untuk
Gambar
3.1 Peta Wilayah Desa
Tanganan
sampai
ke Desa Tenganan harus menempuh jarak
kurang lebih 65 Km dari Denpasar, Desa Tenganan diketahui merupakan desa Bali Aga/ Bali Mula dibali
penduduk desa merupakan orang bali asli atau bali mula yang memiliki banyak ke
unikan dan potensi sehingga membuat Desa Tenganan dikenal sampai saat ini. Desa
Tenganan memiliki tiga buah desa Adat yakni Desa Adat Tenganan Pegeringsingan,
Desa Adat Tenganan Dauh Tukad dan Desa Adat Gumung serta memiliki lima dusun Dinas yaitu Dusun Dinas Tenganan Pegringsingan
sebagai pusat Desa, Dusun Gumung, Dusun
Bukit Kangin, Dusun Bukit Kauh dan Dusun Tenganan Dauh Tukad dari masing – masing
dusun tersebut memiliki keunikan dan potensi yang sangat besar dalam menunjang
kehidupan masyarakanya.
3.1 Keunikan pada Desa
Tenganan
Desa
Tenganan banyak memiliki keunikan diantaranya dari nama, sistem adat istiadat.
Budaya dan komunikasi. Keunikan yang pertama adalah desa Tenganan merupakan Desa bali mula/ Bali Aga dan
memiliki lima dusun dan masing – masing dusun memiliki keunikan tersendiri.
Dibawah ini akan dijelaskan keunikan yang ada di masing – masing dusun desa tenganan
pegringsingan.
3.1.1 Keunikan Dusun
Tenganan Pegringsingan
Adapun beberapa ke unikan yang
terdapat di Dusun Tengnan Pegringsingan yang merupakan pusat desa tenganan
adalah sebagai berikut :
Keunikan Desa Tenganan
dari segi nama itu yakni bermakna “Tengah”
atau “Ngetengahan” yang artinya bergerak ke arah yang lebih dalam terbukti di
desa tenganan pegringsingan letak daerahnya berada di tangah - tengan diapit
oleh dua perbukitan. Desa adat tenganan
pegringsinggan diperkirakan sudah ada sekitar 11 masehi namun Prasasti yang dapat mengungkapkan tentang asal-usul historis
terjadinya desa sudah tidak ada, karena pada tahun 1841 ( Masehi) atau tahun
1763 ( Isaka ) desa setempat mengalami kebakaran yang menghanguskan semua
dokumen desa. Pada tahun 1842 awig-awig
yang saat ini digunakan sebagai pijakan dan dasar hukum dalam prilaku
masyarakat Tenganan Pegeringsingan ditulis kembali berdasarkan ingatan orang
–orang Tenganan atas izin raja Klungkung dan raja Karangasem. Namun demikian
untuk mengetahui asal usul Desa adat Tenganan Pengringsingan dapat dikemukakan
beberapa cerita mitologi yang sampai kini samar-samar masih hidup di kalangan
masyarakat Tenganan khususnya, Maupun masyarakat Bali umumnya. ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
Nama Tengananan diceritakan ada hubungananya dengan cerita hilangnya
seekor kuda dari raja Bedahulu. Dikisahkan ada seorang Raja yang sakti namun
mempunyai sifat sombong dan jahat. Raja itu bernama Mayadenawa dan memerintah
di kerajaan Bedahulu. Pada masa pemerintahannya semua orang golongan peneges dilarang melaksanakan upacara keagamaan maupun
persembahyangan ( Yadnya). jadi
selama masa pemerintahannya, para Dewa tidak mendapatkan sesajen. Melihat kenyataan ini dewa Indra turun ke Mercapada (dunia ) untuk memerangi raja
Mayadenawa. Terjadilah peperangan anatara raja Mayadenawa dengan Bhatara Indra
yang dimenangkan oleh Bhatara Indra. Dalam rangkan merayakan kemenangan ini
Dewa Indra memerintahkan agar semua orang Peneges
mendirikan pura untuk memuja para Dewa dan kembali melaksanakan upacara seperti
lazimnya. Upacara kemenagan Dewa Indra melawan raja Mayadenawa ini di beri nama
Aswamedha Yadnya dengan menggunakan
caru ( Korban) seekor kuda berbulu putih dan seekor kuda berbulu hitam. Kuda itu di berinama Onceswara.
Ketika upacara kemenangan akan dilaksanakan ternyata kuda Onceswara mendadak
hilang. Dewa Indra memerintahkan semua orang Peneges di Bedahulu untuk menemukan kembali kuda tersebut. Orang Peneges kemudian membagi diri menjadi
dua bagian ( Kelompok ) untuk mencari kuda tersebut. Kelompok pertama ternyata
tidak berhasil menemukan kembali kuda tersebut dan akhirnya mereka menetap di
daerah Beratan. Kelompok kedua menemukan kuda tersebut dalam keadaan mati.
Mereka sangat berduka atas kematian kuda tersebut. Bhatara Indra mengaetahui
keadaan ini lalu datang ke tempat mereka kemudian beliau bersabda :
“ Hai orang peneges jangan menangis, walaupun dalam keadaaan mati,
untuk membalas jasa-jasamu aku menganugrahkan daerah ini untukmu, luas
wilayahmu adalah sampai batas tercium bau bangkai
kuda tersebut yaitu,
·
kaki kirinya diletakkan di penimbalan kauh
·
kaki kanannya diletakkan di penimbalan kangin
·
perut besarnya diletakkan di Pura Batu Keben
·
Kotorannya
diletakkan di Pura Taikik
·
Kemaluannya
di letakkan di Pura Kaki Dukun
·
Ekornya diletakkan di Pura Rambut Pule
Sejak itu pula orang Peneges
membangun sebuah desa di antara tiga bukit yaitu : bukit Kangin ( Timur ), Bukit
Kaja ( Utara), dan Bukit Kauh ( Barat) .Karena desanya terletak diantara tengah
–tengah dua buah bukit, maka desa ini disebut “Tengahan” dalam perkembangan selanjutnya menjadi “ Tenganan” orang –orang peneges ini pada
mulanya membangun sebuah desa dekat pantai Candidasa sekarang, daerah
Manggis, Karangasem, yang disebut desa Peneges. Penduduk desa Peneges mempunyai hubungan dengan orang
–orang di desa Teges daerah Bedahulu, Gianyar. Lama-kelamaan karena terjadi
proses erosi air laut maka penduduk desa peneges ini pindah ke daerah
pedalaman, yang dalam bahasa Bali disebut “ Ngentengahang”.
Sebutan Ngetangahang ini dalam
perkembangannya melalui proses asimilasi menjadi nama Tenganan. ( Bapak I Nyoman Sadra: Tokoh Masyarakat Desa
Tenganan )
Kata Pegringsingan berasal
dari kata “ geringsing” yaitu nama
kain tenun tradisional penduduk Tenganan. Kain geringsing ini merupakan jati
diri tenun asli Tenganan, karena hanya penduduk desa Tenganan yang dapat
menenunnya. Kerajinan tenun Geringsing ini hanya ada di Desa Tenganan
Pegeringsingan
2.
Dari segi bahasa dan komunikasi desa tenganan
pegringsingan memiliki keunikan yang sangat kental dimana ke unikan itu
terletak pada komunikasi penduduk desa tenganan pegringsingan setiap harinya
yang memakai bahasa bali yang halus madia dan menggunakan logat bahasa dengan
akhiran “a” jika bertemu dengan para
tamu – tamu yang berkunjung kesana. Desa Tenganan memiliki lima dusun yang tempatnya sangat berjauhan tersebut memiliki bahasa dan komunikasi yang berbeda dan unik ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
Selain bahasa bali halus madia yang digunakan dalam kehidupan sehari
– hari oleh masayarakat Desa Tenganan pegringsingan. Ada bahasa khas yang digunakan untuk panggilan antara
kaum laki- laki dan perempuan. Bagi kaum laki – laki memiliki nama panggilan
“Cong” sedangkan kaum perempuan memiliki
nama panggilan “Nyi”. ( bli Gabin : Pemuda Desa Tenganan )
3. Desa
Tenganan adalah Desa bali mula yang dimiliki banyak keunikan bangunan adat dan
bangunan masyarakatnya pun sangat berbeda dan tidak ada duanya di bali,
bangunan adat semuanya memiliki tempat
dan fungsi yang berbeda baik itu untuk
bale kegiatan masyarakat maupun untuk pelaksanaan kegiatan adat serta untuk hunian bagi keluarga, ada sekitar
16 buah bale yang terdapat di Desa Tenganan untuk bale kegiatan masyarakat
maupun untuk pelaksanaan kegiatan adat. Bale – bale tersebut berjejer dari arah
selatan sampai utara. Disisi paling selatan bernama Bale Agung kemudian disisi
utaranya disusul oleh Bale Kulkul, Bale Jineng Petemu Kelod, Bale Petemu Kelod,
Bale Gambang, Bale Banjar, Bale Jineng Nungnungan, Bale Jineng Petemu Tengah,
Bale Petemu Tengah, Bale Glebeg, Bale Jineng Petemu Kaje, Bale Petemu Kaje, Wantilan, Balai Lantang,
Bale Ayung dan yang ada paling
utara yakni Bale Banjar. ( I Putu Wiadnyana :
Tokoh Masyarakat Tenganan )
a.
Bale Agung
Pada umumnya desa adat di Bali memiliki Bale
Agung selaku unsur kahyangan tiga ( Pura Puseh, Pura
Dalem dan Pura Bale Agung ). Bale agung di Desa Tenganan terletak di suatu tempat
terbuka dengan ukuran yang cukup besar, memanjang dari utara ke selatan.
Bangunan dasarnya memiliki
bentuk persegi panjang dengan panjang berukuran sekitar 50 × 5 meter dan tinggi 1 meter. Bangunan di
atasnya berukuran 47 × 3 meter dan tinggi 3,5 meter, terbuat dari
kayu ketewel ( kayu
nangka). Dengan jumlah tiangnya
sebanyak 28 buah dan atapnya berasal
dari ijuk. Fungsi utama bale agung adalah tempat
sangkepan
(pertemuan ) tokoh – tokoh adat, baik setiap hari maupun pada saat upacara. Selain itu juga
sebagai tempat penyimpanan inventaris desa seperti selunding ( gamelan ) ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
b.
Bale Kulkul
Bale Kulkul
adalah bale suci yang digunakan untuk menempatkan Kulkul ( Kentongan
) yang bersifat sakral dan dilarang untuk memasuki areal ini kecuali tokoh adat yang berhak dan bertugas
memukul Kulkul tersebut dan sangat berbeda dengan bale kulkul pada umumnya di
Bali, bangunanya berbentuk segi panjang berukuran 8
x 4 meter dengan tinggi 80 cm, terdiri atas tumpukan batu
kali yang direkatkan dengan tanah liat.
Bale di atasnya berukuran 7 x 3 meter dengan tinggi 3,5
meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Tiangnya berjumlah 6 buah dan atapnya terbuat dari ijuk
c.
Bale Jineng
Bale Jineng adalah
bale suci yang digunakan untuk menempatkan
hasil panen berupa padi. bangunanya berbentuk segi panjang berukuran 6 x 3,5 meter dengan tinggi 40
cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 5 x 2,5 meter dengan tinggi 3,5
meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. ( I Putu Wiadnyana : Tokoh
Masyarakat Tenganan )
Tiangnya
berjumlah 6 buah dan atapnya
terbuat dari ijuk dan daun pelapah
kelapa. Bale Jineng ada 4 Buah di Desa Tenganan yakni Bale Jineng Petemu Kelod,
Bale Jineng Nungnungan, Bale Jineng Petemu Tengah dan Bale Jineng Petemu Kaje. (
I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
d.
Bale Petemu
Bale patemu
adalah balai pertemuan yang berjumlah sebanyak tiga buah yakni Bale Petemu Kelod, Bale Petemu
Tengah dan Bale Petemu Kaje. Bale patemu ini dipakai sebagai tempat pertemuan untuk organisasi pemuda (sekeha teruna). Bale Petemu Kelod
dipakai untuk pertemuan pemuda yang ada pada tinggal pada wilayah selatan, Bale
Petemu Tengah untuk tempat pertemuan pemuda yang tingal pada wilayah tengah –
tengah dan Bale Petemu Kaje digunakan
sebagai termpat pertemuan para pemuda yang tinggal di
kawasan sebelah Utara. Bale Petemu ini
bangunan dasarnya berbentuk segi panjang berukuran 20 x 4 meter dengan tinggi 150
cm, terdiri atas tumpukan batu bata yang
saling berekatan. Bangunan di atasnya berukuran 19 x 3 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu. Tiangnya
berjumlah 16 buah dan atapnya
terbuat dari ijuk. ( I Putu
Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
e.
Bale Gambang
Bale Gambang ini
digunakan sebagai tempat pementasan
gambelan gambang pada saat diadakan upacara keagamaam maupun upacara adat balai
gambang ini hanya terdiri hanya
satu bangunan saja, bangunan dasarnya berbentuk segi panjang berukuran 7 x 5 meter dengan tinggi 50
cm, terdiri atas tumpukan batu yang
direkatkan dengan tanah liat. Bangunan di atasnya berukuran 6 x 3 meter dengan
tinggi 3,5 meter, terdiri
atas bahan kayu dan bambu. Tiangnya
berjumlah 6 buah dan atapnya
terbuat dari ijuk dan pelapah dauh
kelapa.
f.
Bale Banjar
Bale banjar di
desa tenganan merupakan bale suci
yang hanya boleh digunakan untuk sesuatu hal yang bersifat sakral dan bangunan ini sangat unik dan sangat berbeda dengan bale banjar yang ada
dibali. ada dua bale banjar yang ada di dusun tenganan pegringsingan yang pertama ada di tengah -
tengah deretan bangunan yang biasanya dipakai untuk tempat upacara usabe desta
( bulan ke 11 adat tenganan ) dan yang kedua
berada paling utara deretan bangunan yang biasanya dipergunakan pada
sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan) .
Bangunan dasar ini berbentuk segi panjang
berukuran 13,5 x 4 meter dengan
tinggi
50 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Balai
di atasnya berukuran 12 x 2,5 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan
bambu. Tiangnya berjumlah 10 buah dan atapnya terbuat dari
daun palpalan (kelapa) dan
ijuk ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
g.
Bale Glebeg
Bale Glebeg adalah
bale suci yang digunakan untuk menempatkan
hasil panen berupa padi Gage. Bangunan ini mirip dengan bangunan Jineng yakni
bangunan dasarnya berbentuk segi panjang berukuran 6
x 3,5 meter dengan tinggi 40 cm, terdiri atas tumpukan batu
kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 5
x 2,5 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu
dan bambu. Dengan beratap pelapah
daun kelapa ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat
Tenganan )
h.
Wantilan
Wantilan di desa tenganan sangat klasik jika dibandingkan
dengan wantilan wantilan yang ada di bali, menurut Bapak I Putu Suarjana, SS
selaku mantan Perbekel Desa Tenganan
kalau biasanya di daerah lain sudah menggunakan beton namun tidak dengan
ditenganan Pegringsingan semua tiang penyangga
dan kerangka atapnya menggunakan kayu cempaka dan atapnya menggunakan genteng. Umur dari bangunan wantilan ini sudah tujuh
puluh lima tahun namun masih tetap kokoh berdiri. Wantilan biasanya digunakan
sebagai tempat pertunjukan/ tontonan
yang berasal dari luar desa pegringsingan termasuk digunakan oleh
mahasiswa universitas mahendradatta untuk
tempat pembukaan, tempat istirahat dan penutupan saat pelaksanaan kersos selama 3 hari.
i.
Bale Lantang
Bale lantang berada
di sebelah utara wantilan. bangunan
dasarnya berbentuk segi panjang
berukuran 17 x 3,5 meter dengan tinggi 35 cm, terdiri atas tumpukan batu
kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 15
x 3 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu. Dengan beratap genteng dan biasanya
digunakan pada saat upacara sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan). ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan
)
j.
Bale Ayung
Bale Ayung fungsinya
sama dengan bale gambang yaitu sebagai
tempat Gambang ( gambelan ). Hanya saja Bale Ayung digunakan
pada saat upacara yang dilaksanakan pada
sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan). Untuk bangunan dasarnya berbentuk
persegi berukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 15 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang
direkatkan dengan tanah liat. Bale
di atasnya berukuran 4 x 4 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Dengan beratap pelapah daun kelapa ( I Putu
Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
Selain bangunan
adat di
Tenganan Pegeringsingan yang mempunyai keunikan bangunan yang ada di
setiap bangunan rumah juga memiliki ciri khas yang berbeda. Disini semua
pekarangan rumah luasnya hampir sama sekitar 1,5 - 2 are, luasan ini untuk
masyarakat tenganan sudah cukup luas walaupun menurut orang luar mengatakan cukup sempit. dengan tatanan
bangunan di masing – masing pekarangan mengunakan konsep tapak dara (
Keseimbangan ), tatanan bangunan perumahan mulai dari depan ada pintu masuk
dinamakan Jelanan Awang, Bale Buga, Sangah Kelod, Sangah Kaje, Bale Meten, Bale
Tengah dan Paon ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
a.
Jelanang Awang
Jelanang Awang merupakan pintu untuk keluar masuk pekarangan yang terletak di bagian depan pekarangan dan menghadap ke luar pekarangan. Jelanang Awang ini baik kusen dan daun
pintunya terbuat dari kayu biasanya lebar pintu sekitar 80 cm dan tinggi
sekitar 2 meter. ( Bapak I Nyoman
Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
b.
Bale Buga
Bale Buga merupakan Bangunan memanjang, menempati sepanjang tembok pekarangan letaknya selalu dibagian barat ataupun
dibagian timur tergantung dari menghadap kemana tembok pekarangan tersebut,
dan selalu letaknya paling depan
berimpitan dengan Jelanan Awang dan umumnya terdiri dari tiga ruangan.
Kegunaan Bale Buga adalah sebagai tempat melaksanakan upacara pitra yadnya, manusa yadnya, dan dewa yadnya, serta upacara subak dehe dan subak teruna;
tempat beberapa peralatan dan tempat tidur bagi orang tua yang sudah melewati
umur tertentu. (
Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
c.
Sanggah Kelod
Sanggah kelod terletak diposisi selatan antara Bale
Buga dengan Bale Meten, yang menghadap ke utara dengan hulu keselatan sanggah ini merupakan tempat
pemujaan bagi para leluhur yang telah disucikan. Dan ini sangat berbeda dengan
sanggah – sangah pemujaan leluhur yang
ada dibali yang biasanya menggunakan hulu sebelah timur. Sanggah ini terbuat
dari kayu cempaka dan atapnya berasal dari ijuk ( Bapak I Nyoman
Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
d.
Sanggah Kaje
Sanggah Kaje juga
disebut sebagai sangah persimpangan terletak diposisi utara antara Bale Buga
denan Bale Tengah, yang menghadap ke selatan dengan hulu ke arah utara bangunan
kecil biasanya berjumlah satu sampai tiga buah untuk pemujaan atau persimpangan
betara - betara,
terutama betara dari Gunung Agung. Pura
Dasar, Betara dari Ngis, dan sebagaimnya. Bangunan ini tidak
harus terdapat pada setiap keluarga.. Sanggah ini terbuat dari kayu cempaka dan atapnya berasal dari Ijuk, Seng
atau dari ilalang. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
e.
Bale Meten
Bale Meten
merupakan bangunan untuk tempat tidur atau menyimpan barang-barang.
Bangunan ini boleh diubah arsitekturnya jika pemiliknya mampu atau telah
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Bale meten ini letaknya pada bagian selatan pekarangan
f.
Bale Tangah
Bale Tengah sebuah
bangunan dengan dua buah ruangan.
Ruangan depan sebagai tempat kematian sedangkan ruangan belakang sebagai tempat
untuk melahirkan, Sehari-hari
bale
tengah ini dipakai untuk tempat tidur, duduk-duduk, meneriman tamu dan
lain-lain. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
g.
Paon
Paon ini letaknya
paling belakang di sebelah barat
pekarangan atau timur pekarangan tergantung dari letak posisi pekarangan itu
sendiri, jika pekarangan menghadap ke timur maka paon berada disisi barat dan
sebaliknya bila jika pekarangan
menghadap ke barat maka paon akan berada di sebelah timur. Bangunan ini terdiri dari satu sampai tiga ruang yang bangunanya memanjang. Digunakan sebagai tempat untuk memasak. ( Bapak I
Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
h.
Teba
Tebe dalam
sebuah pekarangan terletak di bagian paling belakang dari rumah, yaitu
tempat mengkandangkan babi, membuang sampah dan menanam tumbuh-tumbuhan. Selain
itu, ada tiga tebe pisan, yaitu lorong tempat jalan mayat khusus bagi anak-anak
yang belum tanggal giginya. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
4. Keunikan
tenganan pegringsingan masih banyak sekali yang dapat dijumpai diantara ciri khas dalam
upacara dan adat /tradisinya.. Dimana upacara dan adat/tradisi di desa tenganan
sangatlah berbeda dari desa – desa yang lainnya di bali. Upacara yang
dilaksanakan tenganan pegringsingan memakai tradisi sasih dan tanggalan yang berlaku untuk desa
tenganan saja dan berbeda dengan sistem penanggalan sasih pada masyarakat bali
kebanyakan. Masyarakat desa tenganan melaksanakan upacara hampir setiap sasih mulai dari sasih kasa hingga sasih sada namun
yang paling banyak upacaranya terletak pada sasih kelima mulai dari awal sasih
kelima sampai akhir sasih kelima
ini penuh dengan upacara atau disebut “Usabe Sambah” selain upacara
yang dilakukan tersebut juga melaksanakan rerainan Saraswati, Galungan maupun
kuningan menurut kepala desa tenganan
Bapak Putu Yudana, ST bahwa upacara – upacara meliputi :
a.
Sasih Kasa
Pada sasih kasa ini ada upacara Tari Rejang rejang ini
dipentaskan selama lima hari berturut – turut di
lakukan oleh para dehe ( wanita yang telah menginjak dewasa ) dan Anak -anak
pementasanya di laksanakan di depan seluruh pura – pura yang ada di desa
tenganan pegringsingan serta dipentaskan
tiga kali dalam sehari, pada pagi harinya dilaksanakan pada pukul 04.00
Wita, pada siang hari dilaksankan jam 11.00 wita hingga jam satu siang dan pada
sore hari dilaksankan jam 4 sore. Selain upacara rejang ini ada juga upacara
untuk
Para balita berupa upacara Mekehkeh yakni upacara bayi
agar bisa keluar rumah, Metelubulan merupakan
upacara kepada balita agar dapat
menyentuh tanah, mengunakan perhiasan Mas dan memakai gelang, Putus Jambot
merupakan upara yang diadakan sebagai proses alamiah perrgantian dari balita
menjadi anak- anak.
b.
Sasih Karo
Pada Karo ini ada upacara penghormatan terhadap alam,
upacara neduh atau dikenal dengan membawa tirta ( air suci ) ke sawah untuk
memohon kesuburan, Gantung –gantungan
upacara ini berupa pembuatan gantung gantungan jajan berbentuk mainan.
c.
Sasih Kapat
Pada Sasih Kapat ini diadakan upacara di Pura Dalem
Pengastulan. Pura dalem pengastulan berada di utara desa tenganan. Untuk
tangkil ke pura tersebut melewati jalan setapak
atau dapat dilalui dengan menggunakan sepeda motor. Pada saat piodalan
di pura
dalem
pengastulan warga dari desa bedulu Gianyar juga akan datang untuk mengikuti
prosesi upacara. Hal ini menunjukan bahwa kekerabatan antara desa tanganan
pegringsingin dengan masyarakat dari bedulu tetap terjaga sampai sekarang
begitu pula sebaliknya jika ada upacara di desa bedulu para sesepuh atau warga dari
desa tengan akan melakukan persembahyangan di sana. Begitu juga dengan jro
mangku desa tenganan pegringsingn seandainya jro mangku yang berhalangan/ ada
kesibukan maka jro mangku dari desa Bedulu dapat ditujuk untuk memimpin upacara
di pura dalem pengastulan ini
( Bapak I Putu Yudiana,
ST : Perbekel Desa Tenganan )
d.
Sasih Kelima
Pada Sasih kelima ini serangkaian upacara mulai dari awal
sampai akhir sasih kelima penuh dengah upacara dan sasih ini juga dekenal
“Usaba Sambah” ( Upacara Besar ) upacara
yang dilakukan saat sasih kelima
diantaranya upacara Maling – malingan, Geret Pandan/ Mekare - Kare, Anyunan.
( Pak I Putu Suarjana, SS : Tokoh Adat Desa Tenganan )
1)
Maling – malingan
Upacara maling malingan dilaksanakan pada saat sasih kelima. Upacara maling
– malingan dilaksankan oleh kaum laki- laki, dimana para laki laki ini di rias
wajah dan tubuhnya dengan penuh warna namun warna yang dipilih hanya tiga yakni
warna merah, Hitam dan Kuning dengan ikat kepala tebuat dari ambu (dauh aren
yang masih muda ), dengan dileher
memakai kalung daging babi serta hiasan dikepala juga menngunakan daging
babi.
2)
Geret Pandan
Salah satu upacara yang paling unik di Desa Tenganan
Pegringsingan adalah
ritual Geret Pandan/ Perang
Pandanatau biasa disebut mekare-kare, yang sekarang
seolah menjadi sebuah aikon di Desa Tenganan Pegringsingan upacaranya dilaksankan pada sasih kelima,
dengan diikuti
oleh kaum laki –laki baik tua muapun muda. Pada saat pelaksanaan upacara ini
semua laki- berkumpul dengan pakaian menggunakan kamben dengan disertai
senteng, disertai udeng dan tanpa menggunakan baju. Pada saat itulah para pemuda desa tenganan
pegringsingan menggelar
pertarungan dengan menggunakan seikat pandan. Dua laki-laki bertarung saling
menyerang dengan seikat daun pandan menggoreskan gepokan pandan ke tubuh lawan serta melakukan tangkisan terhadap
serangan lawan. Duri - duri
pandan pun menacap pada masing masing peserta. Disertai darah yang keluar dari
pertarungan gertet pandan ini,
perih dan sakit karena luka yang diakibatkannya. Namun diakhir permainan tidak
ada rasa dendam, tidak ada kata menang ataupun kalah, hati mereka damai tanpa
permusuhan, karena ini sebuah upacara penghormatan kepada dewa Indra, serta dipercaya sebagai Dewa
perang saat mengalahkan raja Mayadenawa. Setelah selesai perang
pandan, luka akan diobati dengan obat tradisional antiseptik dari bahan umbi –
umbian. Saat diolesi obat, punggung para pemuda akan terasa sangat perih. Luka
tersebut akan mengering dan sembuh dalam beberapa hari ( Bapak I Putu Yudiana,
ST : Perbekel Desa Tenganan )
3)
Anyunan
Upacara anyunan ini dikuti oleh kaum
perempuan yang sudah menek dehe atau menek bajang. Upacara Anyunan ini
dilaksanakan pada sasih kelima dengan anyunan ini diumpamakan sebagai sebuah
lentera perputaran bumi. Dalam perputaran bumi ini diumpakan sebuah sebuah roda
perputaran dalam hidup. Makna dari upacara ini adalah untuk mengajarkan kepada
perempuan tentang sebuah kehidupan bahwa kehidupan terkadang berada diatas
kadang juga akah berada dibawah. ( Bapak
I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
e.
Sasih Kapitu
Pada sasih kapitu ini diadakan upacara medi – median.
Upacara medi – median ini dilakukan dengan membuat orang - orangan / di daerah lain dibali di kenal dengan ogoh
– ogoh. Medi – median ini dibuat dengan berbagi bentuk namun tidak diarak
seperti ogoh ogoh. Tujuan melaksanakan upacara adat ini untuk mengusir roh
jahat untuk keluar desa.
f.
Sasih Kaulu
Pada Sasih Keulu
ini upacara yang ada sasih ini adalah Usabe Gedebong. Usabe ini
merupakan sebuah upacara masyarakat dengan menancabkan sebuah gedebong ( Pohon
Pisang ) di depan pekarangan rumah kemudian dihias dengan janur dan bunga dan
dilakukan upacara kepada gedebong yang
dihias berupa persembahan bebanten dan nantinya akan ada sesepuh yang
mendatangi gedebong itu untuk ditusuk dengan tombak/ keris dan selanjutnya akan dihancurkan oleh anak -
anak. ( Bapak I Putu Yudiana,
ST : Perbekel Desa Tenganan )
Keunikan
desa Tenganan dari segi upacara atau teradisi adat dalam
perkawinan. Dalam hal perkawinan disini telah diatur dalam awig – awig desa
adatnya. Dalam hal perkawinan ada beberapa kententuan yang sangat khas dan
harus ditaati yakni mereka yang
diperbolehkan kawin adalah mereka yang sudah masukmenjadi seka truna bagi laki
– laki dan sudah menjadi sekeha deha bagi yang permpuan apabila tidak salah satu belum menjadi sekehe truna/ dehe
maka mereka tidak boleh menjadi krama desa dan di asingkan. Perkawinan haruslah
dilakukan antara seorang teruna ( laki ) dan seorang dehe ( perempuan ) yang
berasal dari tenganan. Apabila seorang teruna tenganan mengambil istri dari
luar desa tanganan kecuali warga pasek ( setingkat ) maka orang yang
bersangkutan tidak diakui lagi sebagai warga desa tanganan pegeringsingan atau
tidak diperkenankan sebagai krama desadan dibuang ke banjar pande di sebelah
timur desa tanganan. Bagi Deha yang kawin dengan laki – laki dari luar desa
tenganan, maka juga tidak diangap sebagai warga tenganan lagi alias dibuang.
Perkawinan haruslah dilakukan antara teruna dan deha tenganan. Apabila seorang
laki tenganan kawin dengan istri orang lain warga desa tenganan dalam hal
inimasih diperbolehkan tinggal di desa tenganan pegeringsingan, namun tidak
sebagai krama desa tetapi sebagai krama
gumi pulangan. Seorang laki – laki harus
memiliki seorang istri apabila seorang laki mempunyai istri lebih dari satu
maka laki – laki ini tidak menjadi krama desa, tetapi menjadi krama gumi
pulangan. Perkawinan yang dilakukan antara teruna dan deha tidak boleh masih
ada hubungan darah seperti : miasan/ sepupu dan mindon. Di desa tenganan
pegringsingan selain adanya sebuah perkawinan meminang adapula perkawinan ngerorod
( kawin lari bersama ) ( Pak I Putu
Suarjana, SS : Tokoh Adat Desa Tenganan )
Itulah uraian tentang tradisi upacara. Sedangkan dari
segi tradisi kematian atau penguburan
jenasah di desa tangan terbilang sangat
unik dan tidak ditemukan di daerah lain dibali selain di desa tangan pegringsingan.
Upacara kematian di desa ini jenasah tidak dibakar/ dengan prosesi Ngaben pada umumnya seperti yang dilaksanakan di
pulau bali namun upacara kematian dibali ini hanya dilakukan dengan penguburan. Penguburan mayat disini tidak mengenal waktu
kapan orang itu meninggal maka saat itulah akan dikubur hal ini dilakukan
karena mengacu kepada kelahiran karena orang lahir tidak mengenal waktu maka
penguburanya pun tidak mengenal waktu kecuali ketika ada masyarakat meninggal
sore atau malam hari maka penguburanya dilaksanakan pada keesokan harinya.
Mengenai prosesi penguburan dilakukan seperti biasa dengan menggunakan upakara
bebanten dan alat – alat orang meninggal seperti pepaga ( tandu orang meninggal
) yang dipersiapkan oleh krama adat
berdasarkan tugas dan wewenang saat mayat dilakukan penguburan tanpa
menggunakan busana karena pada saat
lahir tidak menggunakan busana maka saat kembalipun tanpa busana dan saat
dikubur dengan telungkup dan kepala menghadap keselatan/ kelaut. Pada saat
ditutup dengan tanah. Tanah tersebut tidak ada gumukan ( tonjolan di atas tanah
) hal ini dilakukandengan tujuan
untuk kembali menyatukan orang yang
telah meninggal ke pertiwi ( bumi )
Setra di desa tengan ini ada 2 buah yakni setra kangin di gunakan sebagai tempat untuk mengubur
warga biasa atau masyarakat desa
tanganan dan lagi satu dinamakan setra Kauh setra ini digunakan untuk
penguburan orang orang suci seperti pemangu ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel
Desa Tenganan )
5.
Desa
Tenganan Pegringsingan memiliki kesenian
yang sangat unik yaitu Slonding dimana selonding ini merupakan alat gambelan
pusaka yang masih bersifat sakral dan
disimpat di tempat yg disucikan pada saat pengamilan slonding ini harus dengan
upacara tertentu. Begitu juga tetabuhan selonding ini hanya digunakan pada
upacara tertentu saja yang diadakan oleh desa, seperti tari rejang, tari
mabuang, geret pandan dan dalam serangkaian usabe sambah. Sebagi juru tabuh dari
selonding ini tidak diperbolehkan sembarangan orang, hanya orang orang tertentu
saja yang berasl dari desa tenganan pegringsingan yang boleh memainkan gambelan
selunding ini dan pada saat selesai penggunaan selonding ini ketika mau
disimpan juga akan dilakukan sebuah upacara. ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel
Desa Tenganan )
Selain selonding disini juga ada sebuah kesenian mengambar diatas daun rontal gambaran gambaran yang dibuat cukup
unik seperti yang dikatakan I Nyoman Kantun sebagai salah satu pelukis di atas
daun lontar melukis di atas daun lantar menggunakan imanjinasi dan keahlian
yang sangat tinggi karena melukis di atas daun lontar tidak boleh ada kesalahan
karena tidak bisa dihapus sedikit salah akan mengakibatkan daun lontar rusak
dan tidak dapat dipakai lagi. Sebagai alat untuk melukis menggunakan griv. Dan
daun lontar didapatkan dari daerah tianyar kubu karangasem dengan pewarnaan menggunakan
kemiri.
Selain kesenian diatas ada juga
kerajinan yang tidak ada duanya di daerah lain yakni sebuah hasil karya tenun yang
menghasilkan sebuah kain pegringsingan. Untuk pembuatan kain gringsing memakan waktu
yang cukup lama selama dua minggu dan sistem pewarnaan untuk benang untuk
menghasilkan kualitas warna yang optimal memakan waktu yang cukup lama hingga
berbulan - bulan hingga tahunan. Untuk bahan pembuatan kain geringsing ini
mendatangkan bahan – bahan dari luar daerah
misalkan dari Nusa, lombok.
Karena ketersediaan bahan di desa tenganan sangat minim.
Kerajinan yang sangat menarik dan
unik disini adalah pembuatan ulatan tas, keranjang, tempat tisu dll yang terbuat dari bahan ata
banyak barang barang yang sangat unik dibuat
di desa tenganan pegeringsingan ini. Bentuk – bentuk ulatan yang menarik
dan beragam dengan penuh kreatifitas ini tidak ada di daerah lain selain
di desa ini menurut ibuk Ni Nengah Latri pengerajin ulatan ata bahan ata sekarang cukup mahal dan bahan ini
semuanya membeli dari luar tenganan
6.
Desa
Tenganan Pegringsingan Dalam urusan hukum
adat, memiliki keunikan pula, hukum adat disini tertuang dalam awig awig desa
tengan pegringsingan yang sudah dilaksanakan turu menurun. diantaranya adalah
hukum perkawinan, lingkungan hidup,
pencurian dan warisan jika ada yang melangar akan dikenakan sangsi sesuai
dengan yang tertuang dalam awig – awig desa tersebut
Setiap penduduk wajib melaksanakan aturan yang telah tertuang dalam awig-awig
desa. Hal ini dikarenakan awig-awig merupakan kesepakatan social yang dibuat
oleh seluruh warga desa sebagai aturan dalam mengelola wilayahnya. Pola ruang
desa yang ada saat ini merupakan warisan turun temurun yang selalu dijaga dan
dihormati. Setiap pemanfaatan ruang memiliki tatanan nilai yang harus selalu
dijungjung tinggi.