Senin, 29 Februari 2016

Keunikan Desa Tenganan Pegringsingan



KEUNIKAN DAN POTENSI
DESA TENGANAN


Desa tenganan terletak Sebelah utara pantai candidasa Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali dengan luas wilayah 1.176,225 ha Kawasan tenganan  memiliki suhu udara iklim pegunungan yang sangat sejuk. Desa tenganan mempunyai batas – batas wilayah  sebelah utara berbatasan dengan Desa Bebandem dan Macang, sebelah timur berbatasan dengan Asak, Timbrah, Bugbug, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pesedahan, Bugbug, Sengkidu dan sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Ngis. Untuk
Gambar 3.1 Peta Wilayah Desa Tanganan
sampai ke Desa Tenganan harus menempuh jarak kurang lebih 65 Km dari Denpasar,  Desa Tenganan diketahui merupakan desa Bali Aga/ Bali Mula dibali penduduk desa merupakan orang bali asli atau bali mula yang memiliki banyak ke unikan dan potensi sehingga membuat Desa Tenganan dikenal sampai saat ini. Desa Tenganan memiliki tiga buah desa Adat yakni Desa Adat Tenganan Pegeringsingan, Desa Adat Tenganan Dauh Tukad dan Desa Adat Gumung  serta memiliki lima dusun Dinas  yaitu Dusun Dinas Tenganan Pegringsingan sebagai pusat Desa, Dusun  Gumung, Dusun Bukit Kangin, Dusun Bukit Kauh dan Dusun Tenganan Dauh Tukad dari masing – masing dusun tersebut memiliki keunikan dan potensi yang sangat besar dalam menunjang kehidupan masyarakanya.

3.1 Keunikan pada Desa Tenganan
            Desa Tenganan banyak memiliki keunikan diantaranya dari nama, sistem adat istiadat. Budaya dan komunikasi. Keunikan yang pertama adalah desa Tenganan  merupakan Desa bali mula/ Bali Aga dan memiliki lima dusun dan masing – masing dusun memiliki keunikan tersendiri. Dibawah ini akan dijelaskan keunikan yang ada di masing – masing dusun desa tenganan pegringsingan.

3.1.1 Keunikan Dusun Tenganan Pegringsingan
            Adapun beberapa ke unikan yang terdapat di Dusun Tengnan Pegringsingan yang merupakan pusat desa tenganan adalah sebagai berikut :
Keunikan Desa Tenganan dari segi nama itu  yakni bermakna “Tengah” atau “Ngetengahan” yang artinya bergerak ke arah yang lebih dalam terbukti di desa tenganan pegringsingan letak daerahnya berada di tangah - tengan diapit oleh dua  perbukitan. Desa adat tenganan pegringsinggan diperkirakan sudah ada sekitar 11 masehi namun  Prasasti yang dapat mengungkapkan tentang asal-usul historis terjadinya desa sudah tidak ada, karena pada tahun 1841 ( Masehi) atau tahun 1763 ( Isaka ) desa setempat mengalami kebakaran yang menghanguskan semua dokumen desa. Pada tahun 1842 awig-awig yang saat ini digunakan sebagai pijakan dan dasar hukum dalam prilaku masyarakat Tenganan Pegeringsingan ditulis kembali berdasarkan ingatan orang –orang Tenganan atas izin raja Klungkung dan raja Karangasem. Namun demikian untuk mengetahui asal usul Desa adat Tenganan Pengringsingan dapat dikemukakan beberapa cerita mitologi yang sampai kini samar-samar masih hidup di kalangan masyarakat Tenganan khususnya, Maupun masyarakat Bali umumnya. ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )

Nama Tengananan diceritakan ada hubungananya dengan cerita hilangnya seekor kuda dari raja Bedahulu. Dikisahkan ada seorang Raja yang sakti namun mempunyai sifat sombong dan jahat. Raja itu bernama Mayadenawa dan memerintah di kerajaan Bedahulu. Pada masa pemerintahannya semua orang golongan peneges  dilarang melaksanakan upacara keagamaan maupun persembahyangan ( Yadnya). jadi selama masa pemerintahannya, para Dewa tidak mendapatkan sesajen. Melihat kenyataan ini dewa Indra turun ke Mercapada (dunia ) untuk memerangi raja Mayadenawa. Terjadilah peperangan anatara raja Mayadenawa dengan Bhatara Indra yang dimenangkan oleh Bhatara Indra. Dalam rangkan merayakan kemenangan ini Dewa Indra memerintahkan agar semua orang Peneges mendirikan pura untuk memuja para Dewa dan kembali melaksanakan upacara seperti lazimnya. Upacara kemenagan Dewa Indra melawan raja Mayadenawa ini di beri nama Aswamedha Yadnya dengan menggunakan caru ( Korban) seekor kuda berbulu putih dan seekor kuda berbulu hitam. Kuda itu di berinama Onceswara. Ketika upacara kemenangan akan dilaksanakan ternyata kuda Onceswara mendadak hilang. Dewa Indra memerintahkan semua orang Peneges di Bedahulu untuk menemukan kembali kuda tersebut. Orang Peneges kemudian membagi diri menjadi dua bagian ( Kelompok ) untuk mencari kuda tersebut. Kelompok pertama ternyata tidak berhasil menemukan kembali kuda tersebut dan akhirnya mereka menetap di daerah Beratan. Kelompok kedua menemukan kuda tersebut dalam keadaan mati. Mereka sangat berduka atas kematian kuda tersebut. Bhatara Indra mengaetahui keadaan ini lalu datang ke tempat mereka kemudian beliau bersabda :
“ Hai orang peneges jangan menangis, walaupun dalam keadaaan mati, untuk membalas jasa-jasamu aku menganugrahkan daerah ini untukmu, luas wilayahmu adalah sampai batas tercium bau bangkai kuda tersebut yaitu,
·         kaki kirinya diletakkan di penimbalan kauh
·         kaki kanannya diletakkan di penimbalan kangin
·         perut besarnya diletakkan di Pura Batu Keben
·         Kotorannya diletakkan di Pura Taikik
·         Kemaluannya di letakkan di Pura Kaki Dukun
·         Ekornya diletakkan di Pura Rambut Pule







Sejak itu pula orang Peneges  membangun sebuah desa di antara tiga bukit yaitu : bukit Kangin ( Timur ), Bukit Kaja ( Utara), dan Bukit Kauh ( Barat) .Karena desanya terletak diantara tengah –tengah dua buah bukit, maka desa ini disebut “Tengahan” dalam perkembangan selanjutnya menjadi “ Tenganan” orang –orang peneges ini pada mulanya membangun sebuah desa dekat pantai Candidasa sekarang, daerah Manggis,  Karangasem, yang disebut desa Peneges. Penduduk desa Peneges mempunyai hubungan dengan orang –orang di desa Teges daerah Bedahulu, Gianyar. Lama-kelamaan karena terjadi proses erosi air laut maka penduduk desa peneges ini pindah ke daerah pedalaman, yang dalam bahasa Bali disebut “ Ngentengahang”. Sebutan Ngetangahang ini dalam perkembangannya melalui proses asimilasi menjadi nama Tenganan. ( Bapak I Nyoman Sadra: Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )

Kata Pegringsingan berasal dari kata “ geringsing” yaitu nama kain tenun tradisional penduduk Tenganan. Kain geringsing ini merupakan jati diri tenun asli Tenganan, karena hanya penduduk desa Tenganan yang dapat menenunnya. Kerajinan tenun Geringsing ini hanya ada di Desa Tenganan Pegeringsingan

2.       Dari segi bahasa dan komunikasi desa tenganan pegringsingan memiliki keunikan yang sangat kental dimana ke unikan itu terletak pada komunikasi penduduk desa tenganan pegringsingan setiap harinya yang memakai bahasa bali yang halus madia dan menggunakan logat bahasa dengan akhiran “a”  jika bertemu dengan para tamu – tamu yang berkunjung kesana. Desa Tenganan memiliki lima dusun yang tempatnya sangat berjauhan tersebut memiliki bahasa dan komunikasi yang berbeda dan unik ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )

Selain bahasa bali halus madia yang digunakan dalam kehidupan sehari – hari oleh masayarakat Desa Tenganan pegringsingan. Ada bahasa khas yang digunakan untuk panggilan antara kaum laki- laki dan perempuan. Bagi kaum  laki – laki memiliki nama panggilan “Cong”  sedangkan kaum perempuan memiliki nama panggilan “Nyi”. ( bli Gabin : Pemuda Desa Tenganan )

3.      Desa Tenganan adalah Desa bali mula yang dimiliki banyak keunikan bangunan adat dan bangunan masyarakatnya pun sangat berbeda dan tidak ada duanya di bali, bangunan adat semuanya memiliki tempat dan  fungsi yang berbeda baik itu untuk bale kegiatan masyarakat maupun untuk pelaksanaan kegiatan adat  serta untuk hunian bagi keluarga, ada sekitar 16 buah bale yang terdapat di Desa Tenganan untuk bale kegiatan masyarakat maupun untuk pelaksanaan kegiatan adat. Bale – bale tersebut berjejer dari arah selatan sampai utara. Disisi paling selatan bernama Bale Agung kemudian disisi utaranya disusul oleh Bale Kulkul, Bale Jineng Petemu Kelod, Bale Petemu Kelod, Bale Gambang, Bale Banjar, Bale Jineng Nungnungan, Bale Jineng Petemu Tengah, Bale Petemu Tengah, Bale Glebeg, Bale Jineng Petemu Kaje,  Bale Petemu Kaje, Wantilan, Balai Lantang, Bale Ayung dan yang ada paling  utara  yakni Bale Banjar.                                                                          ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )

a.    Bale Agung
Pada umumnya desa adat di Bali memiliki Bale Agung selaku unsur kahyangan tiga              ( Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Bale Agung ). Bale agung di Desa Tenganan terletak di suatu tempat terbuka dengan ukuran yang cukup besar, memanjang dari utara ke selatan. Bangunan dasarnya memiliki bentuk persegi panjang dengan  panjang berukuran sekitar  50 × 5 meter dan tinggi 1 meter. Bangunan di atasnya berukuran 47 × 3 meter dan tinggi 3,5 meter, terbuat dari kayu ketewel ( kayu nangka). Dengan jumlah tiangnya sebanyak 28 buah dan atapnya berasal dari ijuk. Fungsi utama bale agung adalah tempat sangkepan

(pertemuan ) tokoh – tokoh adat, baik setiap  hari maupun pada saat upacara. Selain itu juga sebagai tempat penyimpanan inventaris desa seperti selunding ( gamelan )                                      ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )

b.      Bale Kulkul
Bale Kulkul adalah bale suci yang digunakan untuk menempatkan Kulkul                                    ( Kentongan ) yang bersifat sakral dan dilarang untuk memasuki areal ini kecuali tokoh adat yang berhak dan bertugas memukul Kulkul tersebut dan sangat berbeda dengan bale kulkul pada umumnya di Bali, bangunanya berbentuk segi panjang berukuran 8 x 4 meter dengan tinggi 80 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat.
 

Bale di atasnya berukuran 7 x 3 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Tiangnya berjumlah 6 buah dan atapnya terbuat dari ijuk

c.       Bale Jineng
Bale Jineng adalah bale suci yang digunakan untuk menempatkan hasil panen berupa padi. bangunanya berbentuk segi panjang berukuran 6 x 3,5 meter dengan tinggi 40 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 5 x 2,5 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu.                     ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
 
Tiangnya berjumlah 6 buah dan atapnya terbuat dari ijuk dan daun pelapah kelapa. Bale Jineng ada 4 Buah di Desa Tenganan yakni Bale Jineng Petemu Kelod, Bale Jineng Nungnungan, Bale Jineng Petemu Tengah dan Bale Jineng Petemu Kaje. ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )

d.      Bale Petemu
Bale patemu adalah balai pertemuan yang berjumlah sebanyak  tiga buah yakni Bale Petemu Kelod, Bale Petemu Tengah dan Bale Petemu Kaje. Bale patemu ini dipakai sebagai tempat pertemuan untuk organisasi pemuda (sekeha teruna). Bale  Petemu Kelod dipakai untuk pertemuan pemuda yang ada pada tinggal pada wilayah selatan, Bale Petemu Tengah untuk tempat pertemuan pemuda yang tingal pada wilayah tengah – tengah  dan Bale Petemu Kaje digunakan sebagai termpat pertemuan para pemuda yang tinggal di
kawasan sebelah Utara. Bale Petemu ini bangunan dasarnya  berbentuk segi panjang berukuran 20 x 4 meter dengan tinggi 150 cm, terdiri atas tumpukan batu bata yang saling berekatan. Bangunan di atasnya berukuran 19 x 3 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu. Tiangnya berjumlah 16 buah dan atapnya terbuat dari ijuk. ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )



e.       Bale Gambang
Bale Gambang ini digunakan  sebagai tempat pementasan gambelan gambang pada saat diadakan upacara keagamaam maupun upacara adat balai gambang ini hanya terdiri hanya
 




satu bangunan saja, bangunan dasarnya  berbentuk segi panjang berukuran 7 x 5 meter dengan tinggi 50 cm, terdiri atas tumpukan batu yang direkatkan dengan tanah liat. Bangunan di atasnya berukuran 6 x 3 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Tiangnya berjumlah 6 buah dan atapnya terbuat dari ijuk dan pelapah dauh kelapa.
  
f.        Bale Banjar
Bale banjar di desa tenganan merupakan  bale suci yang hanya boleh digunakan untuk sesuatu hal yang bersifat sakral dan bangunan ini sangat unik  dan sangat berbeda dengan bale banjar yang ada dibali. ada dua bale banjar yang ada di dusun tenganan  pegringsingan yang pertama ada di tengah - tengah deretan bangunan yang biasanya dipakai untuk tempat upacara usabe desta ( bulan ke 11 adat tenganan ) dan yang kedua  berada paling utara deretan bangunan yang biasanya dipergunakan pada sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan)  . Bangunan dasar ini berbentuk segi panjang berukuran 13,5 x  4 meter dengan

tinggi 50 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Balai di atasnya berukuran 12 x 2,5 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Tiangnya berjumlah 10 buah dan atapnya terbuat dari daun palpalan (kelapa) dan ijuk ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )

g.      Bale Glebeg
Bale Glebeg adalah bale suci yang digunakan untuk menempatkan hasil panen berupa padi Gage. Bangunan ini mirip dengan bangunan Jineng yakni bangunan dasarnya berbentuk segi panjang berukuran 6 x 3,5 meter dengan tinggi 40 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 5 x 2,5 meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Dengan beratap pelapah daun kelapa                  ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )


h.      Wantilan
Wantilan  di desa tenganan sangat klasik jika dibandingkan dengan wantilan wantilan yang ada di bali, menurut Bapak I Putu Suarjana, SS selaku  mantan Perbekel Desa Tenganan kalau biasanya di daerah lain sudah menggunakan beton namun tidak dengan ditenganan Pegringsingan semua tiang penyangga  dan kerangka atapnya menggunakan kayu cempaka  dan atapnya menggunakan genteng. Umur dari bangunan wantilan ini sudah tujuh puluh lima tahun namun masih tetap kokoh berdiri. Wantilan biasanya digunakan sebagai tempat pertunjukan/ tontonan yang berasal dari luar desa pegringsingan termasuk digunakan oleh

 
mahasiswa universitas mahendradatta untuk tempat pembukaan, tempat istirahat dan penutupan saat pelaksanaan kersos  selama 3 hari.

i.        Bale  Lantang
Bale lantang berada di sebelah utara wantilan.  bangunan dasarnya berbentuk segi panjang berukuran 17 x 3,5 meter dengan tinggi 35 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 15 x 3  meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu. Dengan beratap genteng dan biasanya digunakan pada saat upacara sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan).                                                                        ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )
 


j.        Bale  Ayung
Bale Ayung fungsinya  sama dengan bale gambang yaitu sebagai tempat Gambang                     ( gambelan ). Hanya saja Bale Ayung digunakan pada saat  upacara yang dilaksanakan pada sasih Sada ( bulan ke 12 adat tenganan). Untuk bangunan dasarnya berbentuk persegi berukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 15 cm, terdiri atas tumpukan batu kali yang direkatkan dengan tanah liat. Bale di atasnya berukuran 4 x 4  meter dengan tinggi 3,5 meter, terdiri atas bahan kayu dan bambu. Dengan beratap pelapah daun kelapa                                    ( I Putu Wiadnyana : Tokoh Masyarakat Tenganan )

Selain bangunan adat  di  Tenganan Pegeringsingan yang mempunyai keunikan bangunan yang ada di setiap bangunan rumah juga memiliki ciri khas yang berbeda. Disini semua pekarangan rumah luasnya hampir sama sekitar 1,5 - 2 are, luasan ini untuk masyarakat tenganan sudah cukup luas walaupun menurut orang luar  mengatakan cukup sempit. dengan tatanan bangunan di masing – masing pekarangan mengunakan konsep tapak dara ( Keseimbangan ), tatanan bangunan perumahan mulai dari depan ada pintu masuk dinamakan Jelanan Awang, Bale Buga, Sangah Kelod, Sangah Kaje, Bale Meten, Bale Tengah dan Paon  ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )


a.      Jelanang Awang
Jelanang Awang merupakan  pintu untuk keluar masuk pekarangan yang terletak di bagian depan pekarangan dan menghadap ke luar pekarangan. Jelanang Awang ini baik kusen dan daun pintunya terbuat dari kayu biasanya lebar pintu sekitar 80 cm dan tinggi sekitar 2 meter.  ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )


b.       Bale Buga
 Bale Buga  merupakan Bangunan memanjang, menempati sepanjang tembok pekarangan letaknya selalu dibagian barat ataupun dibagian timur tergantung dari menghadap kemana tembok pekarangan tersebut, dan selalu letaknya paling depan berimpitan dengan Jelanan Awang dan umumnya terdiri dari tiga ruangan. Kegunaan Bale Buga adalah sebagai tempat melaksanakan upacara pitra yadnya, manusa yadnya, dan  dewa yadnya, serta upacara subak dehe dan subak teruna; tempat beberapa peralatan dan tempat tidur bagi orang tua yang sudah melewati umur tertentu. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )

c.        Sanggah Kelod
Sanggah kelod  terletak diposisi selatan antara Bale Buga dengan Bale Meten, yang menghadap ke utara dengan hulu keselatan sanggah ini merupakan tempat pemujaan bagi para leluhur yang telah disucikan. Dan ini sangat berbeda dengan sanggah – sangah pemujaan leluhur  yang ada dibali yang biasanya menggunakan hulu sebelah timur. Sanggah ini terbuat dari kayu cempaka dan atapnya berasal dari ijuk ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
 
d.       Sanggah Kaje
Sanggah Kaje juga disebut sebagai sangah persimpangan terletak diposisi utara antara Bale Buga denan Bale Tengah, yang menghadap ke selatan  dengan hulu ke arah utara bangunan kecil biasanya berjumlah satu sampai tiga buah untuk pemujaan atau persimpangan betara - betara, terutama betara dari Gunung Agung. Pura Dasar, Betara dari Ngis, dan sebagaimnya. Bangunan ini tidak harus terdapat pada setiap keluarga.. Sanggah ini terbuat dari kayu cempaka dan atapnya berasal dari Ijuk, Seng atau dari ilalang. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )

e.        Bale Meten
Bale Meten merupakan bangunan untuk tempat tidur atau menyimpan barang-barang. Bangunan ini boleh diubah arsitekturnya jika pemiliknya mampu atau telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Bale meten ini letaknya pada bagian selatan pekarangan

f.         Bale Tangah
Bale Tengah sebuah bangunan dengan dua buah ruangan. Ruangan depan sebagai tempat kematian sedangkan ruangan belakang sebagai tempat untuk melahirkan, Sehari-hari
bale tengah ini dipakai untuk tempat tidur, duduk-duduk, meneriman tamu dan lain-lain.              ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )

g.       Paon
Paon ini letaknya paling belakang  di sebelah barat pekarangan atau timur pekarangan tergantung dari letak posisi pekarangan itu sendiri, jika pekarangan menghadap ke timur maka paon berada disisi barat dan sebaliknya bila  jika pekarangan menghadap ke barat maka paon akan berada di sebelah timur. Bangunan ini   terdiri dari satu sampai tiga ruang yang bangunanya memanjang. Digunakan sebagai tempat untuk memasak. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )

h.      Teba
Tebe dalam sebuah pekarangan terletak di bagian paling belakang dari rumah, yaitu tempat mengkandangkan babi, membuang sampah dan menanam tumbuh-tumbuhan. Selain itu, ada tiga tebe pisan, yaitu lorong tempat jalan mayat khusus bagi anak-anak yang belum tanggal giginya. ( Bapak I Nyoman Sadra : Tokoh Masyarakat Desa Tenganan )
4.      Keunikan tenganan pegringsingan masih banyak sekali yang dapat dijumpai diantara ciri khas dalam upacara dan adat /tradisinya.. Dimana upacara dan adat/tradisi di desa tenganan sangatlah berbeda dari desa – desa yang lainnya di bali. Upacara yang dilaksanakan tenganan pegringsingan memakai tradisi sasih dan tanggalan yang berlaku untuk desa tenganan saja dan berbeda dengan sistem penanggalan sasih pada masyarakat bali kebanyakan. Masyarakat desa tenganan melaksanakan upacara hampir setiap sasih  mulai dari sasih kasa hingga sasih sada namun yang paling banyak upacaranya terletak pada sasih kelima mulai dari awal sasih kelima    sampai akhir sasih kelima ini  penuh dengan upacara  atau disebut “Usabe Sambah” selain upacara yang dilakukan tersebut juga melaksanakan rerainan Saraswati, Galungan maupun kuningan  menurut kepala desa tenganan Bapak Putu Yudana, ST bahwa upacara – upacara meliputi :

a.      Sasih Kasa
Pada sasih kasa ini ada upacara Tari Rejang rejang ini dipentaskan selama lima hari                      berturut – turut di lakukan oleh para dehe ( wanita yang telah menginjak dewasa ) dan Anak -anak pementasanya di laksanakan di depan seluruh pura – pura yang ada di desa tenganan pegringsingan serta dipentaskan  tiga kali dalam sehari, pada pagi harinya dilaksanakan pada pukul 04.00 Wita, pada siang hari dilaksankan jam 11.00 wita hingga jam satu siang dan pada sore hari dilaksankan jam 4 sore. Selain upacara rejang ini ada juga upacara untuk
 

Para balita berupa upacara Mekehkeh yakni upacara bayi agar bisa keluar rumah, Metelubulan merupakan  upacara kepada balita  agar dapat menyentuh tanah, mengunakan perhiasan Mas dan memakai gelang, Putus Jambot merupakan upara yang diadakan sebagai proses alamiah perrgantian dari balita menjadi anak- anak.
 

b.      Sasih Karo
Pada Karo ini ada upacara penghormatan terhadap alam, upacara neduh atau dikenal dengan membawa tirta ( air suci ) ke sawah untuk memohon kesuburan, Gantung –gantungan  upacara ini berupa pembuatan gantung gantungan jajan berbentuk mainan.


c.       Sasih Kapat
Pada Sasih Kapat ini diadakan upacara di Pura Dalem Pengastulan. Pura dalem pengastulan berada di utara desa tenganan. Untuk tangkil ke pura tersebut melewati jalan setapak  atau dapat dilalui dengan menggunakan sepeda motor. Pada saat piodalan di pura

dalem pengastulan warga dari desa bedulu Gianyar juga akan datang untuk mengikuti prosesi upacara. Hal ini menunjukan bahwa kekerabatan antara desa tanganan pegringsingin dengan masyarakat dari bedulu tetap terjaga sampai sekarang begitu pula sebaliknya jika ada upacara di desa bedulu para sesepuh atau warga dari desa tengan akan melakukan persembahyangan di sana. Begitu juga dengan jro mangku desa tenganan pegringsingn seandainya jro mangku yang berhalangan/ ada kesibukan maka jro mangku dari desa Bedulu dapat ditujuk untuk memimpin upacara di pura dalem pengastulan ini                 ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )

d.      Sasih Kelima
Pada Sasih kelima ini serangkaian upacara mulai dari awal sampai akhir sasih kelima penuh dengah upacara dan sasih ini juga dekenal “Usaba Sambah” ( Upacara Besar  ) upacara yang dilakukan saat sasih kelima  diantaranya upacara Maling – malingan, Geret Pandan/ Mekare - Kare, Anyunan. ( Pak I Putu Suarjana, SS : Tokoh Adat Desa Tenganan )

1)      Maling – malingan
Upacara maling malingan dilaksanakan pada saat sasih kelima. Upacara maling – malingan dilaksankan oleh kaum laki- laki, dimana para laki laki ini di rias wajah dan tubuhnya dengan penuh warna namun warna yang dipilih hanya tiga yakni warna merah, Hitam dan Kuning dengan ikat kepala tebuat dari ambu (dauh aren yang masih muda ), dengan dileher  memakai kalung daging babi serta hiasan dikepala juga menngunakan daging babi.
                                          


                                          

2)      Geret Pandan
Salah satu upacara yang  paling unik di Desa Tenganan Pegringsingan adalah ritual Geret Pandan/ Perang Pandanatau biasa disebut mekare-kare, yang sekarang seolah menjadi sebuah aikon di Desa Tenganan Pegringsingan  upacaranya dilaksankan  pada sasih kelima,
 








dengan diikuti oleh kaum laki –laki baik tua muapun muda. Pada saat pelaksanaan upacara ini semua laki- berkumpul dengan pakaian menggunakan kamben dengan disertai senteng, disertai udeng dan tanpa menggunakan baju. Pada saat itulah para pemuda desa tenganan pegringsingan menggelar pertarungan dengan menggunakan seikat pandan. Dua laki-laki bertarung saling menyerang dengan seikat daun pandan menggoreskan gepokan pandan ke tubuh lawan serta melakukan tangkisan terhadap serangan lawan. Duri - duri pandan pun menacap pada masing masing peserta. Disertai darah yang keluar dari pertarungan gertet pandan ini, perih dan sakit karena luka yang diakibatkannya. Namun diakhir permainan tidak ada rasa dendam, tidak ada kata menang ataupun kalah, hati mereka damai tanpa permusuhan, karena ini sebuah upacara penghormatan kepada dewa Indra, serta dipercaya sebagai Dewa perang saat mengalahkan raja Mayadenawa. Setelah selesai perang pandan, luka akan diobati dengan obat tradisional antiseptik dari bahan umbi – umbian. Saat diolesi obat, punggung para pemuda akan terasa sangat perih. Luka tersebut akan mengering dan sembuh dalam beberapa hari ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )


3)      Anyunan
Upacara anyunan ini dikuti oleh kaum perempuan yang sudah menek dehe atau menek bajang. Upacara Anyunan ini dilaksanakan pada sasih kelima dengan anyunan ini diumpamakan sebagai sebuah lentera perputaran bumi. Dalam perputaran bumi ini diumpakan sebuah sebuah roda perputaran dalam hidup. Makna dari upacara ini adalah untuk mengajarkan kepada perempuan tentang sebuah kehidupan bahwa kehidupan terkadang berada diatas kadang juga akah berada dibawah.  ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )


e.       Sasih Kapitu
Pada sasih kapitu ini diadakan upacara medi – median. Upacara medi – median ini dilakukan dengan membuat orang - orangan  / di daerah lain dibali di kenal dengan ogoh – ogoh. Medi – median ini dibuat dengan berbagi bentuk namun tidak diarak seperti ogoh ogoh. Tujuan melaksanakan upacara adat ini untuk mengusir roh jahat untuk keluar desa.


f.        Sasih Kaulu
Pada Sasih Keulu  ini upacara yang ada sasih ini adalah Usabe Gedebong. Usabe ini merupakan sebuah upacara masyarakat dengan menancabkan sebuah gedebong ( Pohon Pisang ) di depan pekarangan rumah kemudian dihias dengan janur dan bunga dan dilakukan  upacara kepada gedebong yang dihias berupa persembahan bebanten dan nantinya akan ada sesepuh yang mendatangi gedebong itu untuk ditusuk dengan tombak/ keris  dan selanjutnya akan dihancurkan oleh anak - anak. ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
 


Keunikan desa Tenganan dari segi upacara atau teradisi adat  dalam perkawinan. Dalam hal perkawinan disini telah diatur dalam awig – awig desa adatnya. Dalam hal perkawinan ada beberapa kententuan yang sangat khas dan harus ditaati yakni  mereka yang diperbolehkan kawin adalah mereka yang sudah masukmenjadi seka truna bagi laki – laki dan sudah menjadi sekeha deha bagi yang permpuan apabila tidak  salah satu belum menjadi sekehe truna/ dehe maka mereka tidak boleh menjadi krama desa dan di asingkan. Perkawinan haruslah dilakukan antara seorang teruna ( laki ) dan seorang dehe ( perempuan ) yang berasal dari tenganan. Apabila seorang teruna tenganan mengambil istri dari luar desa tanganan kecuali warga pasek ( setingkat ) maka orang yang bersangkutan tidak diakui lagi sebagai warga desa tanganan pegeringsingan atau tidak diperkenankan sebagai krama desadan dibuang ke banjar pande di sebelah timur desa tanganan. Bagi Deha yang kawin dengan laki – laki dari luar desa tenganan, maka juga tidak diangap sebagai warga tenganan lagi alias dibuang. Perkawinan haruslah dilakukan antara teruna dan deha tenganan. Apabila seorang laki tenganan kawin dengan istri orang lain warga desa tenganan dalam hal inimasih diperbolehkan tinggal di desa tenganan pegeringsingan, namun tidak sebagai krama desa  tetapi sebagai krama gumi pulangan.  Seorang laki – laki harus memiliki seorang istri apabila seorang laki mempunyai istri lebih dari satu maka laki – laki ini tidak menjadi krama desa, tetapi menjadi krama gumi pulangan. Perkawinan yang dilakukan antara teruna dan deha tidak boleh masih ada hubungan darah seperti : miasan/ sepupu dan mindon. Di desa tenganan pegringsingan selain adanya sebuah perkawinan meminang adapula perkawinan ngerorod ( kawin lari bersama )  ( Pak I Putu Suarjana, SS : Tokoh Adat Desa Tenganan )
 


Itulah uraian tentang tradisi upacara. Sedangkan dari segi tradisi kematian  atau penguburan jenasah di desa tangan  terbilang sangat unik dan tidak ditemukan di daerah lain dibali selain di desa tangan pegringsingan. Upacara kematian di desa ini jenasah tidak dibakar/ dengan prosesi Ngaben  pada umumnya seperti yang dilaksanakan di pulau bali namun upacara kematian dibali ini hanya dilakukan dengan penguburan.  Penguburan mayat disini tidak mengenal waktu kapan orang itu meninggal maka saat itulah akan dikubur hal ini dilakukan karena mengacu kepada kelahiran karena orang lahir tidak mengenal waktu maka penguburanya pun tidak mengenal waktu kecuali ketika ada masyarakat meninggal sore atau malam hari maka penguburanya dilaksanakan pada keesokan harinya. Mengenai prosesi penguburan dilakukan seperti biasa dengan menggunakan upakara bebanten dan alat – alat orang meninggal seperti pepaga ( tandu orang meninggal ) yang dipersiapkan oleh krama adat  berdasarkan tugas dan wewenang saat mayat dilakukan penguburan tanpa menggunakan busana  karena pada saat lahir tidak menggunakan busana maka saat kembalipun tanpa busana dan saat dikubur dengan telungkup dan kepala menghadap keselatan/ kelaut. Pada saat ditutup dengan tanah. Tanah tersebut tidak ada gumukan ( tonjolan di atas tanah )  hal ini dilakukandengan tujuan untuk  kembali menyatukan orang yang telah meninggal ke pertiwi ( bumi )
 

Setra di desa tengan ini ada 2 buah  yakni setra kangin  di gunakan sebagai tempat untuk mengubur warga biasa  atau masyarakat desa tanganan dan lagi satu dinamakan setra Kauh setra ini digunakan untuk penguburan orang orang suci seperti pemangu ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )

5.      Desa Tenganan  Pegringsingan memiliki kesenian yang sangat unik yaitu Slonding dimana selonding ini merupakan alat gambelan pusaka yang masih bersifat sakral   dan disimpat di tempat yg disucikan pada saat pengamilan slonding ini harus dengan upacara tertentu. Begitu juga tetabuhan selonding ini hanya digunakan pada upacara tertentu saja yang diadakan oleh desa, seperti tari rejang, tari mabuang, geret pandan dan dalam serangkaian usabe sambah. Sebagi juru tabuh dari selonding ini tidak diperbolehkan sembarangan orang, hanya orang orang tertentu saja yang berasl dari desa tenganan pegringsingan yang boleh memainkan gambelan selunding ini dan pada saat selesai penggunaan selonding ini ketika mau disimpan juga akan dilakukan sebuah upacara.                      ( Bapak I Putu Yudiana, ST : Perbekel Desa Tenganan )
Selain selonding disini juga ada sebuah kesenian mengambar diatas daun  rontal gambaran gambaran yang dibuat cukup unik seperti yang dikatakan I Nyoman Kantun sebagai salah satu pelukis di atas daun lontar melukis di atas daun lantar menggunakan imanjinasi dan keahlian yang sangat tinggi karena melukis di atas daun lontar tidak boleh ada kesalahan karena tidak bisa dihapus sedikit salah akan mengakibatkan daun lontar rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Sebagai alat untuk melukis menggunakan griv. Dan daun lontar didapatkan dari daerah tianyar kubu karangasem dengan pewarnaan menggunakan kemiri.



 

Selain kesenian  diatas ada juga kerajinan yang tidak ada duanya di daerah lain yakni sebuah hasil karya tenun yang menghasilkan sebuah kain pegringsingan. Untuk pembuatan kain gringsing memakan waktu yang cukup lama selama dua minggu dan sistem pewarnaan untuk benang untuk menghasilkan kualitas warna yang optimal memakan waktu yang cukup lama hingga berbulan - bulan hingga tahunan. Untuk bahan pembuatan kain geringsing ini mendatangkan bahan – bahan dari luar daerah  misalkan dari Nusa,  lombok. Karena ketersediaan bahan di desa tenganan sangat minim.
 

Kerajinan yang sangat menarik dan unik disini adalah pembuatan ulatan tas, keranjang,  tempat tisu dll yang terbuat dari bahan ata banyak barang barang yang sangat unik dibuat  di desa tenganan pegeringsingan ini. Bentuk – bentuk ulatan  yang menarik  dan beragam dengan penuh kreatifitas ini tidak ada di daerah lain selain di desa ini menurut ibuk Ni Nengah Latri pengerajin ulatan ata bahan  ata sekarang cukup mahal dan bahan ini semuanya membeli dari luar tenganan
 


6.      Desa Tenganan  Pegringsingan Dalam urusan hukum adat, memiliki keunikan pula, hukum adat disini tertuang dalam awig awig desa tengan pegringsingan yang sudah dilaksanakan turu menurun. diantaranya adalah hukum perkawinan,  lingkungan hidup, pencurian dan warisan jika ada yang melangar akan dikenakan sangsi sesuai dengan yang tertuang dalam awig – awig desa tersebut Setiap penduduk wajib melaksanakan aturan yang telah tertuang dalam awig-awig desa. Hal ini dikarenakan awig-awig merupakan kesepakatan social yang dibuat oleh seluruh warga desa sebagai aturan dalam mengelola wilayahnya. Pola ruang desa yang ada saat ini merupakan warisan turun temurun yang selalu dijaga dan dihormati. Setiap pemanfaatan ruang memiliki tatanan nilai yang harus selalu dijungjung tinggi.